via - http://phyqchan.tumblr.comAku tak perlu bilang, bukan? Kalau urusan perasaan, perempuan itu lebih mudah ber-isyarat daripada berkata- kata. Harusnya kamu tahu itu. Perempuan dilindungi Tuhan dengan rasa malu, apalagi untuk hal yang berhubungan dengan perasaan. Jadi, jangan pernah menunggu perempuan untuk mengungkapkan apa yang sedang dirasakannya, kamu harus mengerti isyaratnya. Mungkin, itulah salah satu alasan kenapa perempuan lebih suka laki-laki yang pengertian; agar hidupnya jauh lebih dimudahkan.
Berharap perempuan lebih dulu mengungkapkan perasaannya terhadap laki-laki, itu semisal kamu berharap orang yang paling kamu benci tertimpa durian jatuh tepat di kepalanya, dan kamu jadi berbahagia karenanya. Masalahnya, belum tentu orang yang sangat kamu benci itu punya kebun durian,kalaupun dia punya, belum tentu dia mau menungguinya. Kalaupun dia punya dan mau menunggu duriannya jatuh, sangat sulit mencari momentum durian itu jatuh tepat di atas kepalanya. Kamu hampir tidak pernah mendengar berita tv yang mengabarkan seseorang tertimpa durian jatuh tepat di kepalanya, bukan? Dibutuhkan presisi tingkat tinggi untuk menemukan momentum durian jatuh tepat di atas kepala pemiliknya, dan kalau kamu ingin sekali momentum itu ada, diperlukan bantuan Tuhan untuk menciptakan momentum seperti itu ada. Kamu bisa saja berdoa dengan sungguh- sungguh kepada-Nya, tapi akan timbul masalah baru; doa kita untuk orang lain, akan kembali pada diri kita sendiri. Malaikat langsung yang mengaminkannya. Jadi pada akhirnya, bisa jadi Tuhan memberikan rezeki kepada kamu untuk mempunyai kebun durian, dan di suatu ketika, kepala kamu yang tertimpa durian jatuh kepunyaan kamu sendiri. Begitulah kira-kira kerumitannya, tentang betapa sulitnya perempuan mengungkapkan apa yang dirasakannya terlebih dahulu pada laki-laki.
Kondisinya jadi lebih sulit manakala perasaan yang ingin diungkapkan itu, berupa perasaan tidak enak, tidak suka, tidak setuju atau sejenisnya kepada orang terdekatnya. Seperti yang sekarang aku rasakan; terhadap kamu. Kamu pernah bilang, kalau kita sudah nyaman terhadap seseorang, kita bisa lebih mudah berbagi rasa, lebih terbuka untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya kita. Padahal bagiku, justru rasa nyaman itu sendiri yang jadi masalahnya. Aku sudah nyaman dengan kamu. Kita sudah sepakat untuk menjadi rumah bagi masing-masing; tempat dimana kita selalu ingin pulang dan berlabuh. Rasa nyaman itu pastilah terganggu dengan perasaan yang sedang aku rasakan sekarang kepada kamu. Dan aku enggan untuk mengungkapkannya. Siapapun tak ingin kehilangan rumah, bukan? Tapi aku sudah tak kuasa untuk menyembunyikannya. Jadi tolong, cobalah untuk mengerti isyarat-ku. Aku ingin dimengerti tanpa harus berkata-kata.
***
“Kamu lagi kenapa sih, ngomong dong?” tanyamu menanggapi isyarat diamku, dan aku jadi tambah kesal karena pertanyaanmu itu.
“Gpp.” Jawabku sekenanya
“Klo gpp, kok kayknya ada yang beda ya?”
“Itu kamu tahu, kenapa pake tanya segala?” jawabku kesal
dalam hati, yang diterjemahkan dengan kata-kata menjadi:
“Lagi pengen diem aja.”
“Ya udah kalau begitu, selamat berdiam diri.” Iiiiiiiih, ngeselin banget, boleh di lempar sendal nggak sih?
Isyarat keduaku dimulai di malam hari. Tak seperti biasanya aku tidur terlebih dulu. Pura-pura tidur lebih tepatnya. Melupakan kebiasaan kita sebelum tidur untuk berbagi cerita tentang keseharian masing-masing, atau masa depan yang akan kita lewati bersama. Kali ini, aku harap kamu mengerti dengan isyaratku, bahwa ada sikapmu yang membuatku sangat kesal sedari pagi, dan jelas aku tak suka itu.
***
Tiba-tiba, aku teringat kalau sahabatku yang menggenap lebih dulu pernah mengatakan, bahwa dalam hidup berumahtangga, kita memang harus saling mengerti. Tapi lebih penting lagi untuk mengerti hak dan kewajiban masing-masing. Kita memang punya hak untuk marah, tapi kita juga punya kewajiban untuk memaafkan. Kita punya hak untuk menuntut, tapi kita juga punya kewajiban untuk memberi.
Kita punya hak untuk diperlakukan dengan baik, tapi kita juga punya kewajiban untuk memperbaiki diri. Katanya lagi, kalau hidup berumahtangga kita ingin jauh lebih tenang; dahulukan kewajiban kita terhadap pasangan kita daripada menuntut hak kita terhadapnya.
Aku tak tahu kamu sudah mengerti apa belum isyaratku itu, tapi terimakasih sudah membalasnya dengan isyarat juga. Aku tak tahu apa maksudmu. Tapi aku mengartikan isyarat itu sebagai maaf darimu. Dan itu sudah cukup bagiku untuk berdamai denganmu. Isyarat berupa lima detik kecupan yang kamu daratkan di keningku ketika aku masih (pura-pura) tidur.
Genap, Nazrul Anwar
#repost